SILAHKAN BERKOMENTAR DENGAN SOPAN DAN GUNAKAN ALAMAT URL AGAR MEMUDAHKAN SAYA UNTUK BERKUNJUNG BALIK KE BLOG ANDA. TERIMAKASIH

Kamis, 15 April 2010

Rasionalitas Kita yang Tidak Rasional 2

Ternyata bahwa dewa-dewa modern juga menuntut pengorbanan manusia yang tidak kalah berdarahnya dibanding dewa-dewa primitif masa lampau

Setelah berkali-kali membaca buku ini, saya mendapat sedikit aufklarung (pencerahan). Walaupun sangat jauh dari pemahaman yang semestinya, tetapi setidaknya ada kemajuan dalam pemahaman saya. Intinya adalah dalam segala segi kehidupan manusia di dalam masyarakat, dipenuhi hal-hal yang tidak rasional. Dan seberapa keras usaha manusia untuk menjadi rasional, pada akhirnya sama saja tidak rasional. Teori Kritik Masyarakat berusaha membebaskan manusia dari penindasan sistem dalam masyarakat (yang dibuat manusia sendiri) dengan cara memahami problematika masyarakat modern. Mempertanyakan sistim masyarakat industri maju yang impiannya sampai ke Indonesia.

Teori Kritik Masyarakat ini, walaupun bertolak dari pemikiran Marx, pada akhirnya jauh melampaui dan meninggalkan teori-teori Marx yang sudah usang. Yang tersisa hanya maksud dasar Marx yaitu : membebaskan manusia dari segala belenggu, pengisapan dan penindasan. Beberapa pengertian yang jauh melampaui pemikiran Marx adalah :

  1. Bukan kebutuhan nyata yang menentukan proses produksi. Tetapi kebutuhan diciptakan supaya hasil produksi laku.
  2. Perkembangan teknologi semakin menurut hukumnya sendiri, lepas dari kontrol manusia.
  3. Kebahagiaan yang ditawarkan oleh industri konsumsi adalah kebahagiaan semu, karena tidak membawa manusia kepada pemilikan diri tetapi membuat manusia tergantung kepada semakin banyak benda.
  4. Manusia tidak lagi bekerja hanya untuk menjamin kebutuhan yang nyata dan untuk mengembangkan diri, melainkan keterpaksaan untuk semakin banyak memiliki benda-benda konsumsi (konsumzwang) memaksa dia untuk mencari uang lebih banyak lagi.
  5. Teknologi modern tidak memanusiakan pekerjaan manusia, tetapi memperbudak manusia.
  6. Bahwa segala kelancaran sarana tidak meningkatkan komunikasi antar manusia, melainkan semakin mengisolasi individu.

Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa teori-teori Marx tentang produksi, kerja, nilai pekerjaan, dan pertentangan kelas tidak relevan lagi dalam masyarakat industri maju. Karena bukan kelas-kelas tertentu saja yang tertindas, tetapi semua manusia sudah terintegrasi dan diperbudak oleh sistim yang diciptakan sendiri. Para tehnokrat dan pemilik modal juga diperbudak oleh sistim. Kaum proletar juga sudah terintegrasi ke dalam sistim dan ikut melestarikan sistim itu sendiri, sehingga sudah kehilangan sifat revolusionernya. Hanya ada satu kelas dalam masyarakat yaitu “kelas budak” oleh sistim. Hanya saja dalam “kelas budak” ini ada juga tingkatannya : seperti pekerja kasar, mandor dan lain-lain, yang semuanya tunduk kepada sistim masyarakat industri.

Contoh nyata yang paling dekat dengan kita, untuk menggambarkan permasalahan ini adalah : FaceBook.  Perkembangan teknologi informasi sangatlah pesat, sehingga tercipta suatu “produk” yang bernama FaceBook. Kebutuhan berkomunikasi adalah kebutuhan manusiawi yang mendasar. Sehingga usaha-usaha untuk berkomunikasi adalah usaha yang rasional. Manusia berusaha untuk meningkatkan sarana komunikasi agar kebutuhan untuk berhubungan dengan manusia lain semakin terpenuhi dengan mudah. Namun yang terjadi sekarang adalah : FaceBook yang pada mulanya merupakan sebuah pemecahan kebutuhan berkomunikasi manusia, pada akhirnya malah membelenggu manusia. FaceBook menjadi sebuah kebutuhan dan gaya hidup yang tidak bisa di tawar. Kita lebih senang bersosialisasi di dunia maya daripada di dunia nyata. Dan hal yang seharusnya meningkatkan komunikasi malah mengisolasi individu. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan lain yang tercipta karena adanya FaceBook, yang membuat kita tergantung pada semakin banyak benda-benda konsumsi, seperti berbagai macam perangkat teknologi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ber-FaceBook. Tampak jelas di sini, bahwa kebutuhan diciptakan dengan berbagai macam propaganda atau iklan agar hasil pruduksi laku. Seberapa banyak dari kita yang tidak merasa ada sesuatu yang kurang kalau tidak punya akun FaceBook ? tidak ada koneksi ke jaringan internet ? Bahkan berapa banyak dari kita yang merasa tidak bersalah atau merasa tidak ketinggalan jaman jika tidak mempunyai perangkat mobile untuk berkomunikasi, seperti blackberry atau perangkat komunikasi yang canggih lainnya. Hal-hal ini mendorong manusia untuk bekerja lebih keras dan mendapat banyak uang untuk mendapatkan benda-benda atau jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkannya, karena bersifat semu belaka.

Contoh yang lain tentang ke-irrasionalan masyarakat modern adalah ilustrasi di bawah ini, tentang “dewa-dewa modern” yaitu “pasar” dan “modal” :

Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa di lereng gunung berapi yang tanahnya subur dan rakyatnya hidup makmur. Tetapi suatu ketika gunung berapi “marah” dan menimbulkan bencana. Penduduk desa yang ketakutan berbondong-bondong meminta kepala desa untuk bertanya kepada “orang pintar” di desa itu. Kata si dukun : Dewa gunung sedang marah, dan untuk menghentikan kemarahannya harus diberi korban manusia. Seorang perawan harus disembelih, diambil darahnya dan dicurahkan ke kawah gunung itu untuk menghentikan kemarahan sang dewa. Dengan ketakutan, kesedihan dan kengerian yang sangat, penduduk desa memenuhi syarat itu. Dari cerita ini, kita bisa mengatakan “biadab, bodoh, tidak rasional, kejam, dimana otaknya ??” dan semua kata-kata yang senada dengan itu bisa terucap.

Pada jaman sekarang, di sebuah negara berkembang. Walaupun rakyatnya belum cukup makmur, tetapi terdapat banyak kemajuan dan kesempatan berusaha. Negara yang sedang berkembang menuju masyarakat industri yang diimpikan. Banyak modal asing yang masuk ke negeri itu, sehingga ekonomi berkembang pesat. Suatu ketika krisis ekonomi melanda dunia, pemodal asing banyak yang menarik modalnya. Pemodal-pemodal baru enggan untuk berinvestasi. Pasar menjadi kolaps, lapangan pekerjaan banyak yang hilang, pertumbuhan ekonomi nyaris nol bahkan mungkin negatif. Pemimpin negeri itu meminta nasehat kepada “orang pintar” ahli-ahli ekonomi dan para tehnokrat. Kata mereka : Modal dan pasar sudah tidak lagi bersahabat (marah). Kita harus mencari solusi. Apa-apa saja yang bisa dipangkas dan dikorbankan agar pertumbuhan ekonomi tetap ada, dan modal asing datang kembali ke negeri ini. Singkat kata akhirnya diputuskan untuk mengorbankan para buruh dengan cara memotong kesejahteraan dan hak-hak mereka. Hal ini dilakukan untuk “menyenangkan” dewa modal agar tidak marah dan berbaik hati kembali datang. Akhirnya dengan kengerian dan ketakutan akan masa depannya dan nasib keluarganya para buruh berbaris digiring ke “altar pengorbanan” untuk menyenangkan “dewa modal”. Ini adalah korban sembelihan masal, yaitu para buruh dan sanak keluarganya.

Dari kedua ilustrasi di atas tampak bahwa manusia berada di bawah sesuatu yang memperbudaknya. Hanya saja nama dewanya berganti. Mungkin cerita ke dua tampak lebih rasional, karena melibatkan ilmu pengetahuan dan analisa ekonomi. Tidak seperti cerita pertama yang hanya mistis belaka. Tapi keduanya adalah sama belaka. Para ahli ekonomi dan tehnokrat tidak lain daripada dukun-dukun atau “orang pintar” yang menasehatkan cara-cara terbaik untuk menyembelih manusia untuk menyenangkan dewa modal. Ternyata bahwa dewa-dewa modern juga menuntut pengorbanan manusia yang tidak kalah berdarahnya dibanding dewa-dewa primitif masa lampau.

Cuma sampai di sini pemahaman saya. Tentu saja masih sangat jauh dari yang semestinya. Jika teman-teman pembaca berkenan, mungkin dapat memberikan komentar-komentar atau opini-opini agar saya semakin di-aufklarung-kan.

2 komentar:

  1. maaf kalau keliru, intinya tetap satu; uang adalah sumber kejahatan sejak dulu kala

    BalasHapus