SILAHKAN BERKOMENTAR DENGAN SOPAN DAN GUNAKAN ALAMAT URL AGAR MEMUDAHKAN SAYA UNTUK BERKUNJUNG BALIK KE BLOG ANDA. TERIMAKASIH

Selasa, 27 April 2010

Pengampunan

Seorang pengelana datang ke sebuah biara. Wajah penuh beban, menggambarkan kepahitan hidupnya. Sang guru sedang duduk bersantai di depan biara.

Pengelana (P) : Apakah anda seorang guru ?

Guru (G) : Kerena aku mempunyai beberapa murid, engkau boleh menyebutku demikian.

P : Saya mempunyai sebuah pertanyaan. Bagaimanakah agar aku bisa mengampuni ?

Sang guru tersenyum

G : kita makan karena lapar, minum karena haus, tidur karena mengantuk, mengampuni karena menghakimi. Jika kita tidak lapar, haus atau mengantuk, kita tidak perlu makan, minum atau tidur. Demikian pula jika kita tidak menghakimi, kita tidak perlu mengampuni. Bukankah penghakiman adalah hak Sang Pemilik alam semesta ? Siapakah kita ? pemilik kehidupan ? sehingga kita bisa berkata : aku mengampuni ?

Pengelana kebingungan, lalu memberanikan diri untuk bertanya :

P : lalu bagaimana ? jadi kita tidak usah mengampuni ?

G : Bukan begitu anak muda. Jika kita menghakimi, berarti kita menempatkan diri kita lebih dari orang lain, begitu pula dengan mengampuni. Jadi penghakiman dan pengampunan bersumber pada kecongkakan yang sama, yaitu bahwa kita lebih dari orang lain sehingga kita berhak menghakimi dan mengampuni.

P : lalu ?

G : Sebuah cermin akan memantulkan cahaya, jika di dekatnya ada sebuah pelita. Lalu apakah cermin itu bisa berkata : aku memberikan cahaya ? tentu saja tidak, karena cahaya memantul tanpa usaha dari cermin.

Guru menghela nafas, lalu melanjutkan

G : Jika disekeliling cermin itu gelap gulita, maka tak ada cahaya yang dipantulkannya. Temukanlah sumber cahaya itu anak muda. Sumber pengampunan itu, sehingga engkau tertimpa cahaya pengampunanNya dan memantulkannya kepada orang-orang disekelilingmu.

0 komentar:

Posting Komentar