SILAHKAN BERKOMENTAR DENGAN SOPAN DAN GUNAKAN ALAMAT URL AGAR MEMUDAHKAN SAYA UNTUK BERKUNJUNG BALIK KE BLOG ANDA. TERIMAKASIH

Kamis, 15 April 2010

Rasionalitas Kita yang Tidak Rasional 1

Namun betapa bahagia ia ketika hari gajian tiba karena ia dapat membelikan susu buat anak-anaknya, yang perutnya merintih lapar dan dengan tangan menengadah menyongsong mesra kedatangan ibunya. Sekarang Katharina sakit ayan, ia dinista, dijatuhkan dan dibinasakan pelan-pelan dengan makan kentang seterusnya.

Saya ingin sharing tentang sebuah buku yang sudah lama saya miliki dan sudah berkali-kali saya baca. Buku ini setebal 179 halaman ini (bukan buku yang tebal). Judul buku ini sama membingungkannya dengan judul yang saya tulis di atas : “ DILEMA USAHA MANUSIA RASIONAL” karangan dari Sindhunata. Walaupun sudah berkali-kali saya baca, tetapi pemahaman saya terhadap buku ini tidaklah bisa dibanggakan, mengingat halamannya yang cukup tipis. Mungkin karena latar belakang saya yang teknik, tidak terbiasa berpikir filsafat yang “njelimet”.  Dengan latar belakang filsafat yang miskin inilah saya mencoba membaca dan memahami buku yang bagi saya susah untuk dipahami ini.

Sebenarnya, mengapa saya bersusah payah membaca berkali-kali buku ini ? Apakah itu termasuk tindakan bodoh ? Yang membuat saya terjebak dalam ketidakpahaman yang tidak berguna ? Atau pertanyaan yang lebih tepat adalah : Mengapa saya membeli buku ini ? padahal waktu itu sepertinya saya sedang sadar 100%. 

Seperti biasa, kalau berjalan-jalan di Gramedia, saya membaca-baca beberapa buku yang kebetulan tidak dibungkus plastik. Siapa tahu bisa membaca dengan gratis (hehe). Mungkin kebanyakan orang juga berpikir bahwa Gramedia adalah bukan sebuah toko buku, tetapi taman bacaan gratis (??). Dari iseng membaca-baca inilah saya tahu bahwa di dalam buku ini, Sindhunata mencoba menuliskan monografi Max Horkheimer, seorang yang terkenal dengan Teori Kritik Masyarakat. Orang Jerman keturunan Yahudi ini adalah pendiri Sekolah Frankfurt (sebuah aliran filsafat Barat yang paling berpengaruh sejak akhir perang dunia ke-2). Saya sendiri juga tidak tahu siapa Max Horkheimer atau teori yang dicetuskannya. Pada bagian “kata pengantar” muncul nama lain yang menuliskannya, yaitu Romo Franz Magnis Suseno, seorang tokoh yang saya kagumi. Ini membuat saya terus membaca. Namun mengapa akhirnya saya membeli ? Ini adalah mungkin sekali karena “terprovokasi” oleh cuplikan surat dari Max Horkheimer kepada saudara sepupunya Hans, di bab I (wah.. memang benar-benar taman bacaan gratis, sampai sejauh itu membaca). Waktu itu Horkheimer bekerja di pabrik tenun milik ayahnya Moriz Horkheimer. Surat yang pada akhirnya ditulis dengan nada marah yang menghentak-hentak ini, bagi saya cukup ironis dan mengiris perasaan. Walaupun setting dari surat ini adalah kejadian di Jerman sana, tetapi saya pikir di negeri kita tercinta ini juga banyak terjadi hal itu, atau mungkin bahkan lebih parah lagi.

Saya juga ingin mencuplik isi surat Max kepada Hans di sini, tentang seorang buruh wanita yang bekerja di pabrik tenun Moriz Horkheimer :

Ia (Nyonya Katharina Krammer) dilahirkan dari keluarga yang beranggotakan sembilan orang. Ia lahir ke dunia sebagai mulut kesepuluh, yang tidak disambut dengan kegembiraan ucapan selamat datang, yang menganga lapar, yang merengek dan meratap. Ia dibesarkan di rumah petak berkamar dua, sempit dan berbau. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan permainan dungu anak-anak kampung di gang sempit depan rumahnya. Di SD kelas I bersiswa 82 orang, ia senantiasa dipertontonkan sebagai si tolol dan pemalas. Karena kehamilan yang nista ia dijual kepada kusir kereta pupuk, kusir bodoh dan pemabuk, yang gembira meniup terompetnya sambil mengendalikan keretanya, tanpa merasa keretanya sedang diseret dengan paksa oleh tentara Rusia menuju Siberia. Maka nyonya Katharina Krammer dirawat Dinas Sosial Kotapraja. Ironinya, betapa tak tahu adat Dinas Sosial Kotapraja ini, ia hanya memberi tunjangan 1 Mark sehari buat Katharina dan dua anaknya. Dari pabrik ke pabrik ia melamar kerja, dan ditolak. Selama empat belas hari ia mengisi perutnya hanya dengan kentang. Akhirnya ia mendapat pekerjaan di mana ia harus bercelana pendek yang rudin, kotor dan berbau. Namun betapa bahagia ia ketika hari gajian tiba karena ia dapat membelikan susu buat anak-anaknya, yang perutnya merintih lapar dan dengan tangan menengadah menyongsong mesra kedatangan ibunya. Sekarang Katharina sakit ayan, ia dinista, dijatuhkan dan dibinasakan pelan-pelan dengan makan kentang seterusnya.

            Siapa mengeluh tentang penderitaan ? Kau dan aku ? Kitalah pemakan daging manusia, yang sambat dagingnya tidak lezat dan membikin perut kita mulas tidak puas. Tidak, tidak malah lebih jahanam lagi : kau bergelimang dalam ketentraman dan kelimpahan, dan ini harus dibayar oleh sesama yang mati lemas, berdarah serta keroncongan perutnya, sementara itu kita hanya merenung tentang nasib yang menimpa orang-orang seperti Katharina Krammer. Kau berguling di kasur empuk, kau berbusana indah. Namun kau tidak tahu berapa banyak buruh wanita jatuh dalam proses produksi buat kasur dan busanamu. Sesama kita hangus karena gas racun sehingga bapakmu dapat mengeruk uang untuk mengongkosi tirahmu. Dan kau sendiri berang-berang marah jika kau tidak bisa santai dengan Dostojewski dua halaman sehari. Kitalah si buas, namun kita kurang disiksa. Kita memang konyol. Kita bagaikan tukang bantai di pejagalan binatang, yang menggerutu bahwa lap putih penutup badan kita kecipratan darah.

Setelah membaca cuplikan surat itu saya ke kasir dan membayar bukunya. Sekarang baru saya berpikir, mungkin si penulis buku (Sindhunata) tidak bermaksud apa-apa ketika mencuplik surat Horkheimer. Tapi dari segi pemasaran, cuplikan itu ternyata memberikan dampak juga (ini cuma pemikiran saya saja..hehe).

Supaya tidak terlalu panjang, dan teman-teman malas atau bosan membacanya saya memecah tulisan ini menjadi dua bagian. Kalau masih berkenan, silahkan lanjutkan ke bagian 2 (klik di sini)

0 komentar:

Posting Komentar