Jumat, 30 April 2010
Link Para Sahabat
Kamis, 29 April 2010
Cara Dashyat Dan Mudah Dapat Ribuan Back Link Gratisss…!!
Jika kita memiliki PR yang bagus dan backlink yang banyak, maka sangat cocok jika kita ikut program semacam paid reviews. Saya sungguh menyesal tidak menerapkan cara ini sejak dulu. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena saya ingin memoneytizekan blog ini ke program paid reviews.
Caranya sangatlah gampang, anda hanya tinggal copy link yang berada di bawah ini dengan syarat anda harus menghapus link pada peringkat 1 dari daftar, lalu pindahkan yang tadinya nomor 2 menjadi nomor 1, nomor 3 menjadi nomor 2, nomor 4 menjadi nomor 3, dst. Kemudian masukan link blog anda sendiri pada urutan paling bawah ( nomor 10). Dan silahkan ajak teman anda untuk mengikuti cara ini serta sebarkan cara ini ke sebanyak-banyaknya teman anda.
1. Ilmu-Kompi
2. Alfacroon
3. Trik-Gue
4. Pabrik Info
5. Word Press Paper’s
6. Bootingsko Blog
7. Rajwa Info
8. Harto Hadi
9. pakde sulas
10. 123codegeneratorina
Keterangan:
Jika anda mampu mengajak minimal lima orang saja untuk mengcopy artikel ini, maka jumlah backlink yang akan didapat adalah:
* Posisi 10, jumlah backlink = 1
* Posisi 9, jumlah backlink = 5
* Posisi 8, jumlah backlink = 25
* Posisi 7, jumlah backlink = 125
* Posisi 6, jumlah backlink = 625
* Posisi 5, jumlah backlink = 3,125
* Posisi 4, jumlah backlink =15,625
* Posisi 3, jumlah backlink = 78,125
* Posisi 2, jumlah backlink = 390,625
* Posisi 1, jumlah backlink = 1,953,125
Dan nama dari alamat blog dapat dimasukan kata kunci yang anda inginkan yang juga dapat menarik perhatian untuk segera diklik. Dari sisi SEO anda sudah mendapatkan 1,953,125 backlink dan efek sampingnya jika pengunjung downline mengklik link anda maka anda juga mendapat traffic tambahan.
Saya sarankan anda mencoba cara ini dan silakan copy sebarkan artikel ini ke teman-teman anda. Hilangkan link nomor 1 dan masukan alamat blog anda pada nomor 10. Buktikan sendiri hasilnya setelah itu baru kementar.
Peringatan:
Artikel ini harus permanen selamanya di blog anda, dan Anda harus Jujur dalam menaruh Link Blogger yang telah lebih dulu ada, serta Anda pun tidak boleh menghapus Artikel ini dari Blog Anda…
Berani Mencoba...??? Silahkan Copy – Paste Artikel ini, dan selamat merasakan sensasi nya di Blog Anda….
Pengetahuan tidaklah cukup; kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup; kita harus melakukannya. (Johann Wolfgang von Goethe)
Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna. (Einstein)
Selasa, 27 April 2010
Pengampunan
Pengelana (P) : Apakah anda seorang guru ?
Guru (G) : Kerena aku mempunyai beberapa murid, engkau boleh menyebutku demikian.
P : Saya mempunyai sebuah pertanyaan. Bagaimanakah agar aku bisa mengampuni ?
Sang guru tersenyum
G : kita makan karena lapar, minum karena haus, tidur karena mengantuk, mengampuni karena menghakimi. Jika kita tidak lapar, haus atau mengantuk, kita tidak perlu makan, minum atau tidur. Demikian pula jika kita tidak menghakimi, kita tidak perlu mengampuni. Bukankah penghakiman adalah hak Sang Pemilik alam semesta ? Siapakah kita ? pemilik kehidupan ? sehingga kita bisa berkata : aku mengampuni ?
Pengelana kebingungan, lalu memberanikan diri untuk bertanya :
P : lalu bagaimana ? jadi kita tidak usah mengampuni ?
G : Bukan begitu anak muda. Jika kita menghakimi, berarti kita menempatkan diri kita lebih dari orang lain, begitu pula dengan mengampuni. Jadi penghakiman dan pengampunan bersumber pada kecongkakan yang sama, yaitu bahwa kita lebih dari orang lain sehingga kita berhak menghakimi dan mengampuni.
P : lalu ?
G : Sebuah cermin akan memantulkan cahaya, jika di dekatnya ada sebuah pelita. Lalu apakah cermin itu bisa berkata : aku memberikan cahaya ? tentu saja tidak, karena cahaya memantul tanpa usaha dari cermin.
Guru menghela nafas, lalu melanjutkan
G : Jika disekeliling cermin itu gelap gulita, maka tak ada cahaya yang dipantulkannya. Temukanlah sumber cahaya itu anak muda. Sumber pengampunan itu, sehingga engkau tertimpa cahaya pengampunanNya dan memantulkannya kepada orang-orang disekelilingmu.
Senin, 26 April 2010
31 Jurus Menyempurnakan PC
E-book ini memuat 31 tips yang dapat meningkatkan kinerja PC (Personal Computer) anda.
Silahkan :
Kamis, 15 April 2010
Rasionalitas Kita yang Tidak Rasional 2
Ternyata bahwa dewa-dewa modern juga menuntut pengorbanan manusia yang tidak kalah berdarahnya dibanding dewa-dewa primitif masa lampau
Setelah berkali-kali membaca buku ini, saya mendapat sedikit aufklarung (pencerahan). Walaupun sangat jauh dari pemahaman yang semestinya, tetapi setidaknya ada kemajuan dalam pemahaman saya. Intinya adalah dalam segala segi kehidupan manusia di dalam masyarakat, dipenuhi hal-hal yang tidak rasional. Dan seberapa keras usaha manusia untuk menjadi rasional, pada akhirnya sama saja tidak rasional. Teori Kritik Masyarakat berusaha membebaskan manusia dari penindasan sistem dalam masyarakat (yang dibuat manusia sendiri) dengan cara memahami problematika masyarakat modern. Mempertanyakan sistim masyarakat industri maju yang impiannya sampai ke Indonesia.
Teori Kritik Masyarakat ini, walaupun bertolak dari pemikiran Marx, pada akhirnya jauh melampaui dan meninggalkan teori-teori Marx yang sudah usang. Yang tersisa hanya maksud dasar Marx yaitu : membebaskan manusia dari segala belenggu, pengisapan dan penindasan. Beberapa pengertian yang jauh melampaui pemikiran Marx adalah :
- Bukan kebutuhan nyata yang menentukan proses produksi. Tetapi kebutuhan diciptakan supaya hasil produksi laku.
- Perkembangan teknologi semakin menurut hukumnya sendiri, lepas dari kontrol manusia.
- Kebahagiaan yang ditawarkan oleh industri konsumsi adalah kebahagiaan semu, karena tidak membawa manusia kepada pemilikan diri tetapi membuat manusia tergantung kepada semakin banyak benda.
- Manusia tidak lagi bekerja hanya untuk menjamin kebutuhan yang nyata dan untuk mengembangkan diri, melainkan keterpaksaan untuk semakin banyak memiliki benda-benda konsumsi (konsumzwang) memaksa dia untuk mencari uang lebih banyak lagi.
- Teknologi modern tidak memanusiakan pekerjaan manusia, tetapi memperbudak manusia.
- Bahwa segala kelancaran sarana tidak meningkatkan komunikasi antar manusia, melainkan semakin mengisolasi individu.
Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa teori-teori Marx tentang produksi, kerja, nilai pekerjaan, dan pertentangan kelas tidak relevan lagi dalam masyarakat industri maju. Karena bukan kelas-kelas tertentu saja yang tertindas, tetapi semua manusia sudah terintegrasi dan diperbudak oleh sistim yang diciptakan sendiri. Para tehnokrat dan pemilik modal juga diperbudak oleh sistim. Kaum proletar juga sudah terintegrasi ke dalam sistim dan ikut melestarikan sistim itu sendiri, sehingga sudah kehilangan sifat revolusionernya. Hanya ada satu kelas dalam masyarakat yaitu “kelas budak” oleh sistim. Hanya saja dalam “kelas budak” ini ada juga tingkatannya : seperti pekerja kasar, mandor dan lain-lain, yang semuanya tunduk kepada sistim masyarakat industri.
Contoh nyata yang paling dekat dengan kita, untuk menggambarkan permasalahan ini adalah : FaceBook. Perkembangan teknologi informasi sangatlah pesat, sehingga tercipta suatu “produk” yang bernama FaceBook. Kebutuhan berkomunikasi adalah kebutuhan manusiawi yang mendasar. Sehingga usaha-usaha untuk berkomunikasi adalah usaha yang rasional. Manusia berusaha untuk meningkatkan sarana komunikasi agar kebutuhan untuk berhubungan dengan manusia lain semakin terpenuhi dengan mudah. Namun yang terjadi sekarang adalah : FaceBook yang pada mulanya merupakan sebuah pemecahan kebutuhan berkomunikasi manusia, pada akhirnya malah membelenggu manusia. FaceBook menjadi sebuah kebutuhan dan gaya hidup yang tidak bisa di tawar. Kita lebih senang bersosialisasi di dunia maya daripada di dunia nyata. Dan hal yang seharusnya meningkatkan komunikasi malah mengisolasi individu. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan lain yang tercipta karena adanya FaceBook, yang membuat kita tergantung pada semakin banyak benda-benda konsumsi, seperti berbagai macam perangkat teknologi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ber-FaceBook. Tampak jelas di sini, bahwa kebutuhan diciptakan dengan berbagai macam propaganda atau iklan agar hasil pruduksi laku. Seberapa banyak dari kita yang tidak merasa ada sesuatu yang kurang kalau tidak punya akun FaceBook ? tidak ada koneksi ke jaringan internet ? Bahkan berapa banyak dari kita yang merasa tidak bersalah atau merasa tidak ketinggalan jaman jika tidak mempunyai perangkat mobile untuk berkomunikasi, seperti blackberry atau perangkat komunikasi yang canggih lainnya. Hal-hal ini mendorong manusia untuk bekerja lebih keras dan mendapat banyak uang untuk mendapatkan benda-benda atau jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkannya, karena bersifat semu belaka.
Contoh yang lain tentang ke-irrasionalan masyarakat modern adalah ilustrasi di bawah ini, tentang “dewa-dewa modern” yaitu “pasar” dan “modal” :
Pada jaman dahulu kala, di sebuah desa di lereng gunung berapi yang tanahnya subur dan rakyatnya hidup makmur. Tetapi suatu ketika gunung berapi “marah” dan menimbulkan bencana. Penduduk desa yang ketakutan berbondong-bondong meminta kepala desa untuk bertanya kepada “orang pintar” di desa itu. Kata si dukun : Dewa gunung sedang marah, dan untuk menghentikan kemarahannya harus diberi korban manusia. Seorang perawan harus disembelih, diambil darahnya dan dicurahkan ke kawah gunung itu untuk menghentikan kemarahan sang dewa. Dengan ketakutan, kesedihan dan kengerian yang sangat, penduduk desa memenuhi syarat itu. Dari cerita ini, kita bisa mengatakan “biadab, bodoh, tidak rasional, kejam, dimana otaknya ??” dan semua kata-kata yang senada dengan itu bisa terucap.
Pada jaman sekarang, di sebuah negara berkembang. Walaupun rakyatnya belum cukup makmur, tetapi terdapat banyak kemajuan dan kesempatan berusaha. Negara yang sedang berkembang menuju masyarakat industri yang diimpikan. Banyak modal asing yang masuk ke negeri itu, sehingga ekonomi berkembang pesat. Suatu ketika krisis ekonomi melanda dunia, pemodal asing banyak yang menarik modalnya. Pemodal-pemodal baru enggan untuk berinvestasi. Pasar menjadi kolaps, lapangan pekerjaan banyak yang hilang, pertumbuhan ekonomi nyaris nol bahkan mungkin negatif. Pemimpin negeri itu meminta nasehat kepada “orang pintar” ahli-ahli ekonomi dan para tehnokrat. Kata mereka : Modal dan pasar sudah tidak lagi bersahabat (marah). Kita harus mencari solusi. Apa-apa saja yang bisa dipangkas dan dikorbankan agar pertumbuhan ekonomi tetap ada, dan modal asing datang kembali ke negeri ini. Singkat kata akhirnya diputuskan untuk mengorbankan para buruh dengan cara memotong kesejahteraan dan hak-hak mereka. Hal ini dilakukan untuk “menyenangkan” dewa modal agar tidak marah dan berbaik hati kembali datang. Akhirnya dengan kengerian dan ketakutan akan masa depannya dan nasib keluarganya para buruh berbaris digiring ke “altar pengorbanan” untuk menyenangkan “dewa modal”. Ini adalah korban sembelihan masal, yaitu para buruh dan sanak keluarganya.
Dari kedua ilustrasi di atas tampak bahwa manusia berada di bawah sesuatu yang memperbudaknya. Hanya saja nama dewanya berganti. Mungkin cerita ke dua tampak lebih rasional, karena melibatkan ilmu pengetahuan dan analisa ekonomi. Tidak seperti cerita pertama yang hanya mistis belaka. Tapi keduanya adalah sama belaka. Para ahli ekonomi dan tehnokrat tidak lain daripada dukun-dukun atau “orang pintar” yang menasehatkan cara-cara terbaik untuk menyembelih manusia untuk menyenangkan dewa modal. Ternyata bahwa dewa-dewa modern juga menuntut pengorbanan manusia yang tidak kalah berdarahnya dibanding dewa-dewa primitif masa lampau.
Cuma sampai di sini pemahaman saya. Tentu saja masih sangat jauh dari yang semestinya. Jika teman-teman pembaca berkenan, mungkin dapat memberikan komentar-komentar atau opini-opini agar saya semakin di-aufklarung-kan.
Rasionalitas Kita yang Tidak Rasional 1
Namun betapa bahagia ia ketika hari gajian tiba karena ia dapat membelikan susu buat anak-anaknya, yang perutnya merintih lapar dan dengan tangan menengadah menyongsong mesra kedatangan ibunya. Sekarang Katharina sakit ayan, ia dinista, dijatuhkan dan dibinasakan pelan-pelan dengan makan kentang seterusnya.
Saya ingin sharing tentang sebuah buku yang sudah lama saya miliki dan sudah berkali-kali saya baca. Buku ini setebal 179 halaman ini (bukan buku yang tebal). Judul buku ini sama membingungkannya dengan judul yang saya tulis di atas : “ DILEMA USAHA MANUSIA RASIONAL” karangan dari Sindhunata. Walaupun sudah berkali-kali saya baca, tetapi pemahaman saya terhadap buku ini tidaklah bisa dibanggakan, mengingat halamannya yang cukup tipis. Mungkin karena latar belakang saya yang teknik, tidak terbiasa berpikir filsafat yang “njelimet”. Dengan latar belakang filsafat yang miskin inilah saya mencoba membaca dan memahami buku yang bagi saya susah untuk dipahami ini.
Sebenarnya, mengapa saya bersusah payah membaca berkali-kali buku ini ? Apakah itu termasuk tindakan bodoh ? Yang membuat saya terjebak dalam ketidakpahaman yang tidak berguna ? Atau pertanyaan yang lebih tepat adalah : Mengapa saya membeli buku ini ? padahal waktu itu sepertinya saya sedang sadar 100%.
Seperti biasa, kalau berjalan-jalan di Gramedia, saya membaca-baca beberapa buku yang kebetulan tidak dibungkus plastik. Siapa tahu bisa membaca dengan gratis (hehe). Mungkin kebanyakan orang juga berpikir bahwa Gramedia adalah bukan sebuah toko buku, tetapi taman bacaan gratis (??). Dari iseng membaca-baca inilah saya tahu bahwa di dalam buku ini, Sindhunata mencoba menuliskan monografi Max Horkheimer, seorang yang terkenal dengan Teori Kritik Masyarakat. Orang Jerman keturunan Yahudi ini adalah pendiri Sekolah Frankfurt (sebuah aliran filsafat Barat yang paling berpengaruh sejak akhir perang dunia ke-2). Saya sendiri juga tidak tahu siapa Max Horkheimer atau teori yang dicetuskannya. Pada bagian “kata pengantar” muncul nama lain yang menuliskannya, yaitu Romo Franz Magnis Suseno, seorang tokoh yang saya kagumi. Ini membuat saya terus membaca. Namun mengapa akhirnya saya membeli ? Ini adalah mungkin sekali karena “terprovokasi” oleh cuplikan surat dari Max Horkheimer kepada saudara sepupunya Hans, di bab I (wah.. memang benar-benar taman bacaan gratis, sampai sejauh itu membaca). Waktu itu Horkheimer bekerja di pabrik tenun milik ayahnya Moriz Horkheimer. Surat yang pada akhirnya ditulis dengan nada marah yang menghentak-hentak ini, bagi saya cukup ironis dan mengiris perasaan. Walaupun setting dari surat ini adalah kejadian di Jerman sana, tetapi saya pikir di negeri kita tercinta ini juga banyak terjadi hal itu, atau mungkin bahkan lebih parah lagi.
Saya juga ingin mencuplik isi surat Max kepada Hans di sini, tentang seorang buruh wanita yang bekerja di pabrik tenun Moriz Horkheimer :
Ia (Nyonya Katharina Krammer) dilahirkan dari keluarga yang beranggotakan sembilan orang. Ia lahir ke dunia sebagai mulut kesepuluh, yang tidak disambut dengan kegembiraan ucapan selamat datang, yang menganga lapar, yang merengek dan meratap. Ia dibesarkan di rumah petak berkamar dua, sempit dan berbau. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan permainan dungu anak-anak kampung di gang sempit depan rumahnya. Di SD kelas I bersiswa 82 orang, ia senantiasa dipertontonkan sebagai si tolol dan pemalas. Karena kehamilan yang nista ia dijual kepada kusir kereta pupuk, kusir bodoh dan pemabuk, yang gembira meniup terompetnya sambil mengendalikan keretanya, tanpa merasa keretanya sedang diseret dengan paksa oleh tentara Rusia menuju Siberia. Maka nyonya Katharina Krammer dirawat Dinas Sosial Kotapraja. Ironinya, betapa tak tahu adat Dinas Sosial Kotapraja ini, ia hanya memberi tunjangan 1 Mark sehari buat Katharina dan dua anaknya. Dari pabrik ke pabrik ia melamar kerja, dan ditolak. Selama empat belas hari ia mengisi perutnya hanya dengan kentang. Akhirnya ia mendapat pekerjaan di mana ia harus bercelana pendek yang rudin, kotor dan berbau. Namun betapa bahagia ia ketika hari gajian tiba karena ia dapat membelikan susu buat anak-anaknya, yang perutnya merintih lapar dan dengan tangan menengadah menyongsong mesra kedatangan ibunya. Sekarang Katharina sakit ayan, ia dinista, dijatuhkan dan dibinasakan pelan-pelan dengan makan kentang seterusnya.
Siapa mengeluh tentang penderitaan ? Kau dan aku ? Kitalah pemakan daging manusia, yang sambat dagingnya tidak lezat dan membikin perut kita mulas tidak puas. Tidak, tidak malah lebih jahanam lagi : kau bergelimang dalam ketentraman dan kelimpahan, dan ini harus dibayar oleh sesama yang mati lemas, berdarah serta keroncongan perutnya, sementara itu kita hanya merenung tentang nasib yang menimpa orang-orang seperti Katharina Krammer. Kau berguling di kasur empuk, kau berbusana indah. Namun kau tidak tahu berapa banyak buruh wanita jatuh dalam proses produksi buat kasur dan busanamu. Sesama kita hangus karena gas racun sehingga bapakmu dapat mengeruk uang untuk mengongkosi tirahmu. Dan kau sendiri berang-berang marah jika kau tidak bisa santai dengan Dostojewski dua halaman sehari. Kitalah si buas, namun kita kurang disiksa. Kita memang konyol. Kita bagaikan tukang bantai di pejagalan binatang, yang menggerutu bahwa lap putih penutup badan kita kecipratan darah.
Setelah membaca cuplikan surat itu saya ke kasir dan membayar bukunya. Sekarang baru saya berpikir, mungkin si penulis buku (Sindhunata) tidak bermaksud apa-apa ketika mencuplik surat Horkheimer. Tapi dari segi pemasaran, cuplikan itu ternyata memberikan dampak juga (ini cuma pemikiran saya saja..hehe).
Supaya tidak terlalu panjang, dan teman-teman malas atau bosan membacanya saya memecah tulisan ini menjadi dua bagian. Kalau masih berkenan, silahkan lanjutkan ke bagian 2 (klik di sini)